resume ilmu kalam

  1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Arus rasionalisasi yang demikian cepat melanda dunia Islam abad modern ini telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian Islam kajian kalam pun harus dipertahankan karena kalam merupakan salah satu persoalan esensial dalan kajian keagamaan. Karena dengan ilmu kalam kita dapat mengetahui dan mengenal Allah lebih dalam, dan agar kita menjadi hamba Allah dan khalifahnya.

b.Tujuannya

Dengan bahasan yang cukup luas, diharapkan hasil bacaan ini, dapat menjadi bahan bacaan menarik bagi peminat ilmu kalam, dan menambah wawasan tentang kalam Islam. Dan untuk memantapkan keyakinan kita dengan cara menghilangkan keraguan yang ditimbulkan oleh kepercayaan yang sesat.

Pokok-pokok Isi Bahasan

Di dalam buku ini terdapat beberapa pembahasan tentang ilmu kalam, yaitu: mengenal Filsafat Yunani, penerjemahannya, Neo platonisme, Gnosticisme, pengaruh Agama-agama, lahirnya ilmu kalam, politik dan masalah keagamaan, lahirnya Teologi Islam, aliran-aliran kalamiyah, aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Jabariah dan Qadariyah, aliran Syi’ah, aliran Mu’tazilah, aliran AhluSunnah wal jama’ah, aliran Salaf. Pemikiran kalam modern diantaranya adalah Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Abul A’la Maududi, Sayyid Qutub, Muhammad Syaltut. Pokok-pokok isi bahasan dalam buku ini di rinci  kedalam empat bagian.

 BAB I

BERTEMU WARISAN DUNIA

Mengenal Filsafat Yunani

Filsafat yunani merupakan hasil dari pemikiran bebas yang tidak terikat oleh agama dan pemikiran semata. Bertrand Russel menuturkan, para dewa bagi kebanyakan bangsa dinyatakan sebagai pencipta alam, tapi agama-agama Yunani tidaklah demikian. Pandangan-pandangan keagamaan yang khas itu mempengaruhi horizon filsafat yunani.

Jiwa filsafat Yunani dalam mengamati segala sesuatu bertolak dari rasio, kemudian berusaha memberikan tafsiran-tafsiran sejauh mungkin kepada wujud itu sendiri. Jiwa filsafatnya juga secara lugas tidak memberikan tempat kepada kemampuan lain yang melebihi kemampuan rasional, dan hanya kemampuan rasional yang mampu menyingkap tabir rahasia dai segala wujud walau yang gaib sekalipun.

Pada mulanya kaum muslimin tidak mengetahui apa itu filsafat dan belum mengenal filsafat Yunani. Tapi ketika Islam berada pada zaman keemasaan, kaum muslimin banyak berkenalan dengan berbagai aliran pikiran dan filsafat. Sesuai dengan ajaran Islam yang mendorong kepada pemeluknya untuk selalu memperdalam ilmu pengetahuan dari manapun datangnya. Pikiran-pikiran filsafat itu terutama yang sudah tertuang ke dalam buku-buku di usahaka untuk dipelajari kembali dengan jalan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, atau melalui guru-guru langsung dari aslinya walaupun berlainan agama.

Kaum muslimin mengenal tokoh-tokoh Alexandria seperti John Philophonus, Sargius dari Rass al’Ain, Paul dari Aegina, dan lain-lain, dengan metode pembahasan yang dipergunakan yaitu logika Aristoteles. Ternyata Alexandria telah menjadi tempat studi penting dalam filsafat yunani, kemudian berlanjut dengan lahirnya perguruan Antioch, dari perguruan ini tampil dua tokoh filsafat yaitu Ibrahim al-Marwazi dan Yohanna bin Hailan. Filsafat Aristoteles yang diajarkan di perguruan ini berdasarkan literatur dari syarah-syarah yang diberikan oleh Alexander Aprodisias. Perguruan Alexander umumnya diwarnai oleh ajaran-ajaran Platonisme.

Dari perguruan Jundi Shapur datang pula John Bar Maswi, yang oleh khalifah Ma’mun dijadikan pelopor pendirian perpustakaan besar dan kemudian dikenal dengan Baitul Hikmah. Dengan berdirinya Baitul Hikmah, usaha penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan, filsafat, dan kedokteran semakin maju dan meluas. Gerakan penerjemahan ini merupakan gerakan kebangunan ilmu pengetahuan sepanjang abad.

Penerjemahan

Bahasa Arab ditingkatkan sebagai penggati bahasa Persia dan Yunani. Banyak buku-buku ilmu pengetahuan di terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Berkat kegiatan perpustakaan Baitul Hikmah, penerjemahan semakin pesat. Buku tentang astronomi karangan Shiddarta  diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Farisi, yang dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan astrolable dan merupakan laboratorium astronomi pertama dalam islam. Penerjemahan Timaeus karya Plato oleh Yahya, syarah De Anima karya Aristoteles oleh Ibnu Al-Bitriq, dalam versi Themistius.

Al-Ma’mun, khalifah Abbasiyah yang terkenal bukan hanya mendorong gerakan keilmuan itu, tetapi seperti disebut Fihrist, menulis uraian tentang ajaran Tauhid dalam Islam, menyusun puisi dan sebagainya.

Figur yang terkenal dalam sejarah penerjemahaan filsafat dan ilmu-ilmu Yunani adalah Hunain bin Ishaq pengikut dan sahabat Ibnu Maskawih, yang menerjemahkan menurut garis seni dan ilmiah. Dalam bidang ilmu dan filsafat karya Hunain mengagumkan, antara lain Gramatika bahasa Yunani, Risalah tentang air pasang, Risalah tentang warna, Risalah tentang pelangi. Penerjemah lainnya adalah Ibnu Na’imah al-Himsi, Abu Bishir Matta, Yahya bin A’di, Abu Utsan Ad Dimasyqi, Abu Ali bin Zur’a, Al-Hasan bin Suwar, Ibnu Khammar dan Tsabit bin Qurrah.

Neo Platonisme

Pengaruh filsafat Neo Platonisme dalam pikiran Islam cukup jelas sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qifthi, Ibnu Nadhim dan Syahrastani. Tokoh-tokoh Neo Platonisme: Plotinus (204-270), Malcus (232-304), Jamblichus (meninggal 330), Proclus (412-485), dan lain-lain. Peletak dasar aliran ini disebut Ammonius Saccas pada abad II. Yang terkemuka diantaranya Plotinus dan diantara karyanya adalah Enneda.

Alam pikiran metafisika Plotinus yang terpenting, membahas tritunggal suci yaitu the one, spirit, dan soul. Menurut Betrand Russell, ketiga oknum itu sebagai satu kesatuan. The one (Yang Esa), ia kadang-kadang disebut dengan Tuhan (God), wujud yang teratas, menyatakan dia ada. Dengan kata lain, the first (Yang Pertama), kemudian the spirit atau yang disebut juga dengan the divine mind atau Nous dan kemudian the soul. The One atau the first disamakan dengan Allah, the spirit atau Nous atau the divine mind disamakan dengan isa a.s yang mengandung segala form (bentuk-bentuk) dan kemudian the soul yang merupakan hubungan antara the spirit atau nous atau divine mind dan material universe (alam semesta). Ketiga hal ini menjadi satu yang disebut tritunggal suci.

Paham Neo Platonis itu mewarnai seluruh karya Theologia Aristoteles, yang merupakan karya Diodochus Proclus (m. 485 M) salah seorang pengikut setia Plotinus. Karya itu diberi judul oleh Proclus dengan elements of theology yang di dalam kumpulan karangan-karangan berbahasa arab berujud Pseudo Aristoteles dengan judul kumpulan Al-Khir Al-Mahdi.

Gnosticisme

Gnosticisme berasal dari kata Yunani Gnosis yang berarti “pengetahuan yang bersifat rahasia” (the secret knowledge) yang di dalam bahasa arab disebut Ghunusiyah yang bermakna Al-Ma’rifah Al-Ilahiyah atau Ilmul Asrar. Dapat dikatakan, kelahiran Gnosticisme sebagai gerakan keagamaan dan filsafat ketika akhir zaman Yunani kuno dan permulaan zaman masehi. Menurut Gnosticisme, Tuhan berada pada tingkat tertinggi, wujud yang terpisah dengan alam materi. Adanya wujud materi bersumber dari Tuhan.

Para pengikut Gnosticisme memilki ajaran atau doktrin yang bersifat rahasia. Diantara ajaran-ajarannya antara lain a) Tuhan adalah akal (God is intelect), b) hubungan dengan Tuhan cukup dilakukan dengan akal melalui ma’rifah Ilahiyah dan tidak perlu dengan ibadah , c) keselamatan (salvation) dan kebajikan (good works) lebih baik diperolah dengan ma’rifah Ilahiyah daripada melalui agama itu sendiri, d) ma’rifah Ilahiyah itu hanya didapat oleh orang-orang tertentu saja, e) manusia dapat bersatu dengan Tuhan.

Pengaruh besar Gnosticisme terhadap agama Kristen, sebagaimana dikemukakan oleh W. Windelband adalah saturninus, carpocrates, Basilides, Valentinus dan Bardesanes. Perkembangan dan integrasi Gnosticisme memuncak dalam perkembangan pemikiran filsuf Kristen yang dikenal dengan Marcion.

Menurut Ibnu Nadim dalam Al-fahrits ada beberapa orang yang terpengaruh dengan fahan Gnosticisme itu (dikenal dengan orang-orang Zindik) seperti Ibnu Thalut, Ibnu Akhi Syakir, Ibnu Al ‘Adi Al Husyairy., Shaleh bin Abdul Qudus dan Abdul Karim bin Abi Al Auja’. Pada umumnya yang menerima faham Gnosticisme itu adalah golongan karamithah dan Ghulatus Syi’ah.

Di kalangan tasawuf ada yang terpengruh dengan Gnosticisme itu seperti al-Hallaj, Suhrawardi al-Maqtul, muhiddin Ibnu Arabi, Abdul Karim Al-Jilli, di mana mereka menekan pentingnya seorang memiliki ilmu israr sebagai limpahan dari Tuhan (Al-Faidhul Ilahy) bagi sufi-sufi tertentu dan di dalam ajaran-ajaran mereka mengabaikan peribahan dan membelakangi syari’at agama.

Pengaruh Agama-agama

Filsafat india menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah maya, hendaknya jangan melalui kemampuan ratio, tapi membahasnya lewat batin. Sebagaimana Plato dan Kant dari barat dan Nagarjuna dan Samkara dari India menyatakan bahwa pikiran kita hanya bersangkut paut dengan hal-hal yang relative dan tidak berkait dengan hal yang mutlak.Tuhan adalah tempat yang paling dalam, pagkal kebersamaan semesta. Dunia adalah bentuk lahir dari padanya. Dengan melalui pengaruh yang mendalam dari filsafat Neo Platonisme dan Gnosticisme, doktrin Trinitas (yang istilahnya tidak ditemukan dalam Bibel sendiri) menjadi lebih kuat dan hubungan kesatuan antara manusia dan Tuhan lebih dirasakan sebagaimana realitas dalam diri Yesus Kristus.

Tatkala kaum muslimin membuka daerah Persia, agama majusi telah terpecah kepada beberapa paham dan aliran. Majusi adalah agama Persia kuno yang dikenal dikalangan Islam. Salah satu aliran yang besar pengaruhnya adalah aliran Manes yang dikalangan Teologi Islam dikenal dengan sebutan kaum Zindik. Pengaruh dari aliran Manes itu kedalam alam pikiran Islam adalah batin (kerohanian) dengan segala kesucian dan kebersihannya, hidup uzlah dan zuhud serta masalah kerohanian lainnya.

Orang-orang Yahudi memalsukan hadits-hadits (maudhu’) yang menimbulkan bermacam-macam masalah tajsim tasybih (anthroporphisme) dan mempengaruhi sekelompok orang baik di kalangan para teolog maupun di kaum sufi.

 BAB II

LAHIRNYA ILMU KALAM

Politik dan Masalah Keagamaan

Ketika Rasulullah meninggal tidak ada pesan siapa yang akan menjadi penggantinya. Tidak ada juga ketentuan bagaimana cara menentukan siapa pengganti Rasulullah sebagai kepala pemerintahan. Hanya di dalam Al-Qur’an dan kemudian menjadi tradisi kaum muslimin di bawah pimpinan Nabi, untuk melaksanakan permusyawaratan dalam memecahkan masalah-masalah duniawi termasuk masalah kenegaraan.

Sesuai dengan tradisi itulah para pemimpin puncak, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin, melaksanakan musyawarah memilih pengganti Nabi dalam urusan kenegaraan di Sakifah Bani Sa’idah dan kemudian di baiat oleh umat di Mesjid Nabawi.

Dan begitu seterusnya memilih pemimpin (khalifah) dengan cara musyawarah.

Perpecahan di kalangan umat islam sejak Utsma bin Affan memerintah dan kemudian dilanjutkan oleh Ali, disebabkan oleh masalah-masalah politik. Terutama setelah perang Siffin. Pertentangan-pertentangan ini menimbulkan partai-partai seperti, Syi’ah, Khawarij, Mu’awiyah, Murjiah. Kalangan partai-partai politik itu menampilkan bentuk isu-isu keagamaan hingga masalah itu sendiri selalu dikaitkan dengan kaidah-kaidah agama.

Lahirnya Teologi Islam

Ilmu kalam atau yang disebut juga dengan Teologi Islam adalah ilmu yang membahas tentang ushul sebagai suatu aqidah tentang keesaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, itab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil akal dan meyakinkan.

Sebelum ilmu kalam lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri, ia termasuk dalam Al-Fiqhu Akbar atau Al- Fiqhu Din menurut Imam Abu Hanifah. Ilmu kalam lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pertama kalinya lahir pada masa Khalifah Ma’mun.

Imam Al-Ghazali menuturkan: “Allah SWT dengan perantaraan Rasul-rasul-Nya, telah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya dasar-dasar kepercayaan yang benar dan mengandung kebaikan bagi mereka di dunia dan di akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Karena itu Allah swt mentakdirkan adanya golongan ahli ilmu kalam yang tampil untuk membela Sunah dengan keterangan dan alasan yang tersusun rapi, hingga dapat menjelaskan kepalsuan bid’ah yang menyalahi sunah itu.

BAB III

ALIRAN-ALIRAN KALAMIAH

Aliran Khawarij

Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Semula Khawarij adalah golongan politik yang menolak sikap Ali bin Abi Thalib dan keluar dari golongan Ali. Golongan ini disebut juga dengan nama Haruriah, karena setelah memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru di suatu kampung yang bernama Harura. Meskipun Khawarij pada mulanya adalah golongan politik, namun dalam perkembangan selajutnya ia beralih menjadi aliran kalam.

Aliran Khawarij membolehkan seorang khalifah (kepala Negara) atau Imam dipilih dari bukan golongan kaum Quraisy, boleh dari orag biasa ataupun hamba sahaya. Bagi aliran ini seorang khalifah berfungsi mewakili semua kepentingan rakyat dengan sifat-sifat yang adil, jujur dan menjauhi segala hal yang akan merusakannya. Khalifah juga wajib mempunyai ilmu yang luas da bersifat zuhud. Seorang khalifah yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, merusak keadilan, dan kemaslahatan, wajib dihukum atau dibunuh. Ali ditolak sejak Ali melaksanakan tahkim.

Golongan An-Najdat adalah pengikut Najdah Ibnu Amir al- Hanafi dari Yamamah. Bagi golongan ini, keimanan dan keislaman seseorang ditentukan oleh kewajiban mengimani Allah dan Rasul-Rasul-Nya, mengetahui haram hukumnya membunuh orang islam dan percaya pada seluruh yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. orang yang tidak peduli terhadap hal-hal tersebut tidak beriman dan tidak dapat diampuni.

Golongan al-Muhakkimah, misalnya menetapkan bahwa Ali, Mu’awiyah dan semua pengikut yang membenarkan tahkim, semuaya kafir.

Golongan al-Azariqah adalah kelompok khawarij di bawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq dengan pandangan yang lebih ekstrim di banding golongan-golongan lainnya. Golongan ini berpendirian bahwa orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah musyrik, kekal selama-lamanya didalam neraka, walaupun ia dalam usia anak-anak. Yang tergolong beriman adalah mereka sendiri dan para pengikutnya, selain golongan mereka semuanya musyrik dan harus dibunuh.

Pengikut dari Ziad ibnu Asfar disebut As-Sufriah. Golongan ini juga termasuk golongan ekstrim akan tetapi ada di antara pendirian mereka yang lunak, seperti: anak-anak orang musyrik dilarang di bunuh, orang-orang sufiah yang tidak ikut hijrah tidak dipandang kafir, kafir bagi mereka ada dua, kufur ni’mat dan kufur rububiyah. Dari sini kafir tidak selamanya harus keluar dari islam.

Aliran Murji’ah

Aliran Murji’ah mendasarkan kepada pemikiran yang bersifat netral, yang pada dasarnya tidak mau terlibat di dalam pertentangan dan permusuhan itu. Murji’ah berasal dari kata Arja’a berarti sesuatu yang berada dibelakang. Arja’a juga berarti pengharapan atau Irja’a yang berarti menunda. Al-Baghdadi membagi golongan Murji’ah kedalam tiga golong besar, yang pertama, golongan Murji’ah yang dipengaruhi faham Qadariah, kedua, golongan Murji’ah yang dipengaruhi faham Jabariyah, ketiga, golongan Murji’ah yang dipengaruhi oleh faham Qadariyah dan Jabariyah.

Tokoh-tokoh Murji’ah, diantaranya, Hasan bin Muhammad, Sa’id bin Zubair, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan lain-lain.

Orang-orang Murji’ah selalu berusaha dalam pemikiran netral. Mereka tidak mau memberikan pendapat, siapa yang bersalah dan siapa yang keluar dari Islam sampai kafir, dan semuanya itu mereka tangguhkan penyelesaiannya pada hari perhitungan yang akan datang dihadapan Tuhan.

Bagi golongan Murji’ah, yang diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan adalah soal kedua. Perbuatan setelah iman atau dengan kata lain orang yang melakukan dosa besar masih ada harapan untuk mendapat ramhat, ampunan, dan masuk kedalam surga. Golongan Yunusiah pengikut Yunus bin Ain Numairi berpendapat bahwa iman itu adalah ma’rifah kepada Allah, tunduk dan cinta secara yakin. Seseorang yang berbuat jahat dan maksiat tidaklah merusak iman.

Golongan Tsaubaniyah pengikut Abi Tsauban al-Murji berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah dan ikrar atas Allah dan Rasul-Nya. Bagi golongan Ghassaniah, iman itu adalah ikrar atau mencintai dan membersihka. Iman tidak berkurang atau berlebih.

Bagaimanapun juga uraian diatas mengenai pendapat mereka tentang iman, rasanya sulit untuk diterima kaum muslimin. Dengan hanya menekan keutamaannya iman sedang amal perbuatan tidak dianggap penting dan tidak menentukan tetap dalam Islam atau kufurnya seseorang, membawa konsekuensi-konsekuensi yang lebih jauh, berbahaya, dan tidak menggambarkan ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.

Tetapi banyak juga diantara mereka berpendirian lunak dan dengan pandangan yang obyektif. Mereka menyatakan bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin, mereka bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan di siksa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukan.

Faham Jabariyah dan Qadariyah

Jabariyah berasal dari kata jabaran yang berarti memaksa. Imam Syahrastani menggambarkan arti jabariyah adalah penolakan atas perbuatan yang hakekatnya berasar dari manusia dan menimpakannya kepada Tuhan.

Faham Jabariyah ini dalam perkembangan pemikiran Teologi Islam mirip faham fatalism atau filsafat yang beranggapan secara deternis bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan karena segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima takdir yang dipaksakan kepadanya.

Adapun faham Qadariyah lahir pertama kali di dalam sejarah pemikiran islam dari Ma’bad al-juhani. Yang pertama kalinya dilontarkan oleh Ma’bad al-juhani disebarluaskan oleh Ghailan ad-Dimasyqy, menurutnya manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Bila berbuat baik atau berbuat yang buruk semua itu atas kemauannya bebas dari manusia itu sendiri. Faham Qadariyah menolak adanya qadha dan qadar.

Aliran Syi’ah

Syi’ah adalah golongan yang mendukung Ali dan menganggap suatu pemerintahan yang tidak dipimpin oleh Ali dan keturunannya, maka pemerintahan itu tidak sah dan menyeleweng. Syi’ah berdiri sebagai suatu aliran teologi dan kini mempunyai pengikut yang tersebar di dunia. Bagi Ahlus Sunnah, pokok-pokok dasar aqidah islam itu adalah at-Tauhid, an-Nubuwwah, al-ma’ad, dan kemudian amal yang dibina di atas tiang agama, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Bagi syi’ah disamping hal-hal tersebut  ditambah lagi dengan satu pokok dasar yaitu I’tikad dengan imamah. Aliran Syi’ah terpecah belah menjadi beberapa golongan, yang terbesar diantaranya adalah Ghulatus syi’ah, Syi’ah imamiah, Rafidhah dan Zaidiah.

Menurut Al-Baghdadi, golongan sabaiyah mempercayai bahwa Ali itu adalah Tuhan dan menyerupai dengan zat Tuhan. Al-Milithy menyatakan kafir golongan ini, dianggap sebagai orang-orang tidak berada diatas hujjah yang benar. Golongan Bayaniyah menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang terbentuk tubuh sebagaimana manusia, sedangkan Ali memiliki sifat-sifat ketuhanan dan sebagian dari Tuhan menjadi badan Ali. Demikianlah sebagian dari faham Ghulatus syi’ah dan Rafidhah umumnya berpendirian tajsim dan tasybih juga percaya dengan hulul dan tanasukh.

Berbeda dengan pendapat aliran Ghulat, Syi’ah Imamiah berpendapat sama dengan aliran Mu’tazilah yang menolak adanya sifat-sifat berdiri atas zat. Golongan ini berpendapat bahwa Tuhan Maha Esa, tidak serupa dengan segala sesuatu atas-Nya, tidak disifatkan dengan sifat yang juga disifatkan kepada makhluk, bukan jisim, bukan bentuk, bukan jauhar, bukan ‘aradh. Tidak ada ukuran berat, tidak gerak atau diam, tidak bertempat, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Syi’ah Imamiah cenderung mengkafirkan orang yang berpendirian tasybih.

Menurut golongan Ismailiah, Tuhan itu tidak dikatakan bagi-Nya maujud tidak maujud, tidak alim, tidak jahil, tidak qadir dan tidak ajiz.  Imam syahrastani, menyataka bahwa golongan Ismailiah merupakan segolongan orang yang menolak sifat-sifat hakiki bagi Tuhan, melepaskan semua sifat atas zat Tuhan. Tetapi setelah masuknya filsafat yunani di masa khalifah Ma’mun secara intensif mereka mengawinkan filsafat dengan ajaran-ajaran agama, maka dari sinilah mulai terjadi penyimpangan-penyimpangan, khususnya  di kalangan Ikhwanus shafa yang berasal dari golongan ini.

Imam Syahrastani menuturkan, syi’ah adalah segolongan kaum muslimin yang mendukung Sayyidina Ali r.a. dan berpendirian bahwa beliaulah yang memimpin Negara atas ketetapan Rasulullah, dan imamah tidak boleh keluar dari keturunannya.

Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah tidak bisa dipisahkan dengan washil bin ‘Atha, nama lengkapnya Abu Huzail Washil bin ‘Atha, lahir di madinah 80 H (689M) dan meniggal pada tahun 131 H (749) di Basrah. Dasar umum pikiran dalam aliran Mu’tazilah, tersimpul dalam lima ajaran pokok, yang disebut dengan Ushul al-Khamsah, yaitu:

  1. Tauhid. Tuhan Maha Esa, tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk-Nya, tidak sama dengan sesuatu,tidak dapat dilihat dengan mata, maha qadim yang tidak ada kesamaannya.
  2. Keadilan Tuhan. Tuhan tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan orang dan tidak memaksanya. Dasar prinsip keadilan ini terletak dalamkemampuan akal untuk berbuat baik, dan keadilan tuhan terletak di dalam kebaika itu.
  3. Al wa’ad wal wa’id. Janji dan ancaman Tuhan pasti akan terlaksana, yaitu janji berupa limpahan pahala dan ancaman berupa siksaan.
  4. Manzilah baina manzilatain. Seorag mukmin yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan sebagai mukmin juga tidak dihukumkan sebagai kafir, tapi ia berada di tempat diantara dua tempat. Apabila ia meninggal tetapi belum bertaubat maka ia jatuh kedalam neraka.
  5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Prinsip ini merupakan kewajiban untuk dilaksanakan sesuai dengan dasar-dasar berfikir aliran ini yaitu kekuasaan akal.

Aliran Mu’tazilah yang dikenal sebagai aliran yang menggali sifat Tuhan itu lahir sebagai reaksi atas aliran Tasybih dan Tajsim. Washil berpendapat, manusialah sepenuhnya pencipta buruk dan baik atas perbuatannya, iman dan kafir, taat dan maksiat, semua mendapat balasan.

Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Golongan terbanyak dari Salafus Shaleh adalah mereka yang menetapkan sifat-sifat azali atas Allah swt, seperti ilmu, qodrat, hayat, iradah, sama’, bashar, kalam, dan sebagainya. Mereka tidak membedakan anatara sifat-sifat zat dan sifat-sifat fi’il atau perbuatan.

Apabila Mu’tazilah menolak sifat-sifat atas Tuhan, mereka ini dinamakan sebagai orang-orang yang menggali sifat-sifat atas Tuhan. Adapun Salafus Shaleh membiarkannya sebagaimana adanya, sebab manusia tidak mengetahui arti yang sesungguhnya, dan tidaklah manusia diberati untuk mengetahui ta’wil daripada ayat-ayat tersebut. Tapi yang ditekanka bagi mereka adalah I’tiqad yang benar bahwa Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan yang demikian mereka yakini dengan seyakin-yakinnya.

Dari para ulama salaf itu, salah seorang diantaranya yang tidak terang-terangan menolak ta’wil dan tidak pula condong kepada tasybih adalah Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hambal, Sufyan Tsauri, Daud bin Ali al-Asfahani. Kemudian menyusul Abdullah bin Said al-Kullabi, Abdul Abbas al-Kalanisi, Al-Harits bin Asad al-Muhasibi yang tergolong kaum salaf yang punya andil memecahkan masalah-masalah ilmu kalam, sehingga mereka kemudian memperkuat aqaid-aqaid salaf dengan metode kalam, sampai berkembang secara khusus dalam pemikiran Imam Abul Hasan al-asy’ari.

Konsep Imam Asy’ari merupakan dasar pikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai konsepsi jalan tengah di antara dua kutub pendapat yang ekstrim. Disatu pihak aliran Mu’tazilah dengan penolakan dan penanggalan atas sifat-sifat Tuhan, dan di pihak lain ada aliran Tasybih dan Tajsim yang secara harfiah dan dengan pikiran yang amat sempit menyamakan bahwa Tuhan adalah sama dengan mahluk biasa. Di dalam hal ini al-Makhrizi menyatakan:”Hakekat aliran Asy’ari (Rahimmullah) adalah jalan tengah yang menolak sifat-sifat yaitu Mu’tazilah dan yang berlebih-lebihan menetapkan sifat yaitu Tajsim.

Imam Asy’ari membahas masalah zat dan sifat di atas dasar pembahasan yang asasnya adalah Naqal dan akal, dengan secara hati-hati menyisihkan adanya Tasybih (keserupaan antara Tuhan dengan makhluk). Dalam kitabnya Al-Luma “Tatkala engkau menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh makhluk, katakanlah bahwa jika sekiranya menyerupainya tentulah hukumnya sama dengan hukum yang baru. Jika diserupakan maka tentu tidak lepas dari seluruhnya atau sebagiannya, dan jika diserupakan, keseluruhannya maka keadaannya sama dengan yang hadits keseluruhannya, dan jika sebagian maka keadaannya serupa untik sebagian dengan yang hadits. Yang demikian adalah semuanya mustahil bagi yang qadim.”

Imam Asy’ari menetapkan 7 sifat yang azali lazim bagi zat Tuhan, beliau berkata:”Allah Ta’ala Maha Tau dengan ilmu-Nya, dan Maha Berkehendak dengan Iradah-Nya, Maha Berkuasa dengan Qodrat-Nya, Maha Berkata-kata dengan Kalam-Nya, Maha Melihat dengan Bashar-Nya, Maha Hidup dengan Hayat-Nya.”

Pendapat Imam Asy’ari mendapat tentangan dari filsuf Andalusia yaitu Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa konsep Asy’ari membawa kepada Tajsim, akan tetapi pendapat-pendapat Asy’ari tidaklah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd. Taftazani menunjuk kepada kitabnya” menerangkan kepada Syeikh kami bahwa Allah Ta’alaa adalah hidup dan bagi-Nya hayat yang azali, bukanlah yang demikian itu ‘aradh dan tidaklah mustahil bersifat baqa…”

Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, Ahlus Sunah Wal Jama’ah berpendapat bahwa manusia dan perbuatannya adalah makhluk Allah, baik dan buruknya adalah Tuhan yang menjadikannya. Ahlus Sunah menolak pendapat yag menyatakan bahwa makhluk menciptakan perbuatannya sendiri,sebab pendapat yang demikian membawa kepada adanya dua pencipta dan barang siapa yang berpendapat demikian akan berakibat kepada syirik dalam penciptaan dan sudah tentu membawa kepada kekufuran.

Ahlus Sunah Wal Jama’ah menetapkan, manusia mempunyai kesanggupan yang dijadikan Allah atas hamba-Nya berbarengan dengan perbuatan hamba, tidak mendahului dan tidak kemudian dari perbuatan itu. Hal ini berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan atas perbuatan dengan kesanggupan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.

Ahlus Sunah Wal Jama’ah menolak pendapat Jabariyah yang menyatakan bahwa Allah-lah yang memaksa manusia berbuat maksiat sesuai dengan takdirnya, kemudian orang itu diazab. Penolakan ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan Al-Qur’an, dan juga tertolak oleh pikiran, jika sekiranya Tuhan berbuat demikian, maka bearti Tuhan adalah dzalim. Jelaslah bahwa Ahli Sunah percaya terhadap Allah swt. Sebagai pencipta perbuatan manusia, berbeda dengan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa manusialah pencipta perbuatannya, dan berbeda pula dengan Jabariah yang menyatakan bahwa manusia pada asasnya tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sedang Ahlus Sunah berpendapat manusia mempunyai amal ikhtiar. Dan demikian Tuhan sebagai pencipta dan mengadakan, namun manusia berusaha dan berikhtiar.

Maka segala amal perbuatan manusia yang dikerjakannya itu pada hakekatnya kembali kepada Allah swt karena Allah-lah yang menciptakannya dan memberi pertolongan kepadanya. Dalam hal ini meskipun segala perbuatan dan hasil perbuatan itu pada hakikatnya dari Allah, namun tidak pada tempatnya menyandarkan hal-hal yang buruk kepada Allah swt.

Secara ijma’ Ahlus Sunah menetapkan perlunya Imamah atau khalifah untuk seluruh kaum muslimin, dan caranya melalui pemilihan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Di dalam Imamah atau khalifah diperlukan benerapa syarat, menurut Ibnu Khaldun bahwa syarat-syarat Imamah itu antaralain, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, adil, kompeten, dan sempurna keadaan indar tubuhnya.

Jumhur Ulama Ahlu Sunah, menetapkaan syarat-syarat Imamah itu antara lain dengan empat syarat:

  1. Quraisy, pada dasarnya siapa saja dapat diangkat menjadi khalifah, tetapi lebih afdhal dan jika mungkin adalah yang dari Quraisy.
  2. Bai’at, seorang khalifah dalam memangku tugasnya dimulai setelah dilakukan bai’at. Bai’at menurut Ibnu Khaldun adalah janji untuk taat.
  3. Demokrasi, ajaran islam mengenai Negara dan rakyat di dasarkan kepada demokras. Karena itu pula maka dalam menentukan kepada Negara atau imam, haruslah dilalui syarat-syarat demokrasi itu. Dalam menetapkan segala kebijakan harus dengan bermusyawarah karena dengan bermusyawarah itu membawa segala kebijaksanaan menjadi terlaksana dan dengan kesepakatan permusyawaratan itu membawa persatuan bangsa.
  4. Keadilan, syarat mutlak bagi suatu pemerintahan khalifah yaitu keadilan.

Seperti firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 135:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Aliran Salaf

Aliran Salaf adalah orang-orang Hanabilah (pengikut Ahmad bin Hanbal) yang berusa menghidupkan dan mempertahankan teologi ulama-ulama Salaf yang berpucak pada ajaran Ahmad bin Hanbal, muncul pada abad IV Hijri. Keterikatan Ahmad bin Hanbal dengan teks-teks Al-Qur’an dan sunah Rasulullah telah membuat pandangan begitu sederhana dengan suatu pendirian yang teguh.

Kesederhanaan dan pendiriannya yang teguh itu Nampak ketika ia menghadapi Minhat  yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh Gubernur Baghdad terhadap Ahmad bin Hanbal. Kejadian minhat merupakan peristiwa besar yang diketahui dan dirasakan oleh seluruh kaum muslimin serta meninggalkan pesan abadi agar mempertahankan nash-nash agama di atas segala pertimbagan rasional.

Ciri khas mereka adalah kembali kepada penafsiran harfiah atas nash-nash dan memunculkan tradisi kalam dan hukum sebagaimana ketika perkembangan pertama dalam islam, terutama pemikiran Ahmad bin Hanbal, serta menolak dominasi akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Bagi Ahmad bin Hanbal Iman adalah perkataan dan perbuatan, iman akan bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang jika melakukan kemaksiatan. Ia juga menyatakan , Tuhan bersifat zat-Nya yang tinggi dengan sifat Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam,dan lain sebagainya. Ia menetapkan seperti yang terdapat di Al-Qur’an dan Hadits Nabi.

Ahmad bin Hanbal menetapkan kewajiban mengimani qadar baik dan buruk serta wajib menaati perintah Allah. Tokoh terkenal yang membangkitkan Faham Hanbali tersebut adalah Ibnu Hazm, lahir pada hari terakhir Ramadhan 384 H bertepatan dengan 7 November 994 M di Cordova dan wafat pada tahun 456 H atau 1604 M di Andalusia.

Menurut Ibnu Hazm Al-Qur’an banyak menyebut dengan kata Asma’ bukan dengan kata sifat. Dan lafadz sifat itu ditimbulkan oleh Mu’tazilah. Ibnu Hazm tidak membenarkan menyembah, meminta, serta berdo’a kepada selain Allah, karena hanya Allah lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dimintai pertolongan-Nya. tidak ada orang yang dianggap suci kecuali para Nabi dan Rasul karenanya bersifat ma’shum. Dengan demikian ditolak wasilah dalam memohon kepada Allah, karena perbuatan yang sedemikian itu adalah syirik.

Iman itu meliputi pengakuan dalam hati, dinyatakan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota. Iman menurut Ibnu Hazm adalah, mengenal, meyakinka, membenarkan, semua rukun Iman disertai mentaati semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ibnu Taimiyah tokoh pemikiran islam Salafus Shaleh di bagian Timur, dilahirkan di Harran pada tahun 661 H/1263 M, dan meninggal di Damaskus 728 H/1328 M. Bagi Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an sebagai dasar Syari’ah dapat diterima oleh akal yang benar dan bathin yang bersih. Apalagi Al-Qur’an telah diperjelas oleh Hadits dan dimanifestasikan dalam tingkah laku para Salafus Shaleh. Dengan kata lain menurut dia Islam yang benar adalah bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi di ikuti sahabat Salafus Shaleh. Mengapa Salafus Shaleh? karena nash sendiri menetapkan bahwa generasi Salafus Shaleh adalah generasi terbaik setelah generasi Rasulullah.

Dari mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Salafus Shaleh yaitu mereka para sahabat yang berpegang teguh kepada Syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Atsar, dan Ijma’, percaya kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, para Rasul dan Nabi, kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, para Malaikat, pada hari akhir, surga dan neraka, dan percaya kepada Qadha dan Qadar baik dan buruknya.

BAB IV

PEMIKIRAN KALAM MODERN

Jamaludin Al-Afghani

Sayid Jamaludin al-Afghani dilahirkan di Kunar, Asarabah, Afganistan tahun 1254 H/1839 M. meniggal di Istambul, Turki pada 1314 H/1897 M. Pengembaraannya ke berbagai negri diantaranya, India, Prancis, Rusia, Persia, Turki, Mesir, dan lain-lain. Satu-satunya karya Jamaluddin al-Afghani yang berupa buku yang diterbitkan adalah Al Raddu ala al Dahriyin. Selain buku itu, banyak tulisan-tulisan pada berbagai majalah, khususnya majalah al-Urwatul Wutsqa.

Ia telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang kemudian bergema diseluruh dunia. Pemikiran-pemikiran itu disampaikan dengan dua cara, yang pertama melalui pengajian di rumahnya yang dihadiri oleh para ulama-ulama terkemuka dengan pembahasan kitab-kitab politik, tasawuf, logika, dan filsafat. Kedua, melalui ceramah dan diskusi yang sifatnya intelektual yang pada umumnya dihadiri oleh sastrawan, seniman, budayawan, politikus, dan agamawan.

Disini ia berusaha membelokan orientasi sastra selama ini yang semula kepada keagungan dan gemerlap  kalangan atas ke arah kalangan bawah yaitu rakyat jelata dengan segala penderitaan, keterbelakangan dan kemisikinan mereka.

Di dalam bukunya ” Al Raddu ala al Dahriyin.” Ada beberapa catatan penting, yaitu: Agama mengajarkan kepada manusia,  paling tidak dalam tiga kebenaran fundamental. Pertama, manusia memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi sehingga ia merupakan makhluk yang tertinggi. Kedua, dasar keimanan umat beragama terletak kepada keunggulan kebenaran yang dianutnya sehingga akan membedakan mereka dengan kelompok lain. Ketiga,agama membawa kepada keyakinan tentang kehidupan manusia di dunia ini sebagai persiapan  bagi kehidupan abadi yang bebas dari segala penderitaan.

Selain itu agama telah menanamkan dalam diei pemeluknya tiga karakter: 1. Kerendahan hati, yang memelihara dari semua tindakan jahat dan mendorong ke arah taubat, 2. Jujur, yang merupakan benteng bagi suatu Negara hukum yang sehat, 3. Dapat dipercaya. Jamaluddin menguraikan tentang agama islam: “Agama Islam adalah agama yang paling dibutuhkan manusia, karena ia mengandung berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki agama-agama lainnya.”

  Pertama, Aqidah Tauhid. Dengan aqidah tauhid akal manusia menjadi bersih dan cemerlang, dan selalu terhindar dari keraguan. Kedua, Islam menghapus faham yang mengistimewakan seseorang atau satu kelompok. Ketiga, aqidah islam didasarkan kepada kepuasan batin dan kemantapan akal dan bukan kepada taqlid atau meniru-niru apa yang diyakini oleh nenek moyang. Islam tidak menerima orang yang ikut-ikutan tanpa dalil.

Keempat, Islam menyeru umatnya untuk mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran.

– Muhammad Abduh

Syeikh Muhammad Abduh , lahir dimesir 1266 H/1848 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan dan ibunya bernama Junainah, yang menurut riwayat berasal dari bangsa Arab dengan silslah meningkat sampai kepada Umar bin Khattab. Pada usia 12 tahun ia sudah hafal Al-Qur’an. Dari Jamaluddin lah Muhammad Abduh banyak belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan modern seperti filsafat, sejarah, hukum, ketatanegaraan dan lain-lain. Tapi yang paling menonjol adalah semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad menentang kekolotan. Cara berfikir yang fanatik dirubahnya dengan cara berfikir yang maju dan modern.

Setelah menamatkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Cairo, beliau diangkat menjadi dosen di Darul Ulum dan di Al-Azhar. Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi hakim pengadilan negri, dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Hakim Tertinggi pada pengadilan Tinggi mesir. Ia terpilih menjadi anggota pimpinan tertinggi al-Azhar 1894, pada tahun 1899 menjadi mufti dimesir dan pada tahun itu juga ia diangkat menjadi anggota perundang-undangan parlemen .

Syeikh Muhammad Abduh wafat pada tahun 1323 H/1905 M, di Alexandria. Diantara beberapa karya Muhammad Abduh yang dapat dikemukakan antara lain:

  1. 1.      Risalah Tauhid
  2. 2.      Syarah al-Bashair al-Nashiriyah Fil Mantiq
  3. 3.      Hassyah ‘ala Syarah al-Dawani Lil’Aqaid al-Adudiyah
  4. 4.      Al-Islam wan Nasraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah
  5. 5.      Syarah Maqamat Badi’as Zaman al-Hamazani
  6. 6.      Taqrir Fi Ishlahi Al-Mahakim Al-Syar’iyah

-Muhammad Iqbal

Muhammad Abduh dilahirkan di Sialkot (Punjab), 22 februari 1873.

  1. a.      Tentang Tuhan

Tuhan menyatakan diri-Nya dalam pribadi terbatas, dan karena itu dalam usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan demikian, mencari Tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri. Demikian pula, Tuhan tidak bisa diperoleh dengan meminta dan memohon semata, karena hal itu menunjukan kelemahan dan ketidakberdayaan.

  1. b.      Kedudukan Manusia

Kedudukan manusia amat penting dan tertinggi diantara semua makhluk dan yang membuat manusia amat berharga adalah pribadi atau ego yang dimilikinya. Menurut Iqbal, ego dinilai sebagai poros dari seluruh kegiatan dan amal perbuatan kita. Ego merupakan intisari wujud kepribadian kita. Pada pokoknya ego bersifat memberikan penghargaan dan menghargai dirinya sendiri dalam kegiatannya sendiri.

  1. c.       Masalah Takdir

Sekalipun Tuhan telah menciptakan manusia, dan perbuatan-perbuatannya, namun segala yang terjadi adalah sesuai dengan kodratnya, dalam pengertian ini yang membuat takdir adalah manusia sendiri. Kegiatan kreatif Tuhan tidak pernah terhenti, kapan saja Da mengkendaki sesuatau akan terjadi cukuplah ia berkata Kun fayakun.

  1. d.      Negara Islam

Konstitusi Negara Islam, yang mencerminkan doktrin tauhid, didasarkan atas dua dalil pokok. Supremasi hukum Islam (hukum Tuhan) atau syari’at dan persamaan mutlak diantara para anggota. Hukum islam itu suatu hukum komprehensif, yang merupakan cetak biru masyarakat islam, hukum tersebut meliputi semua bidang kehidupan. Kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan kepada manusia.

  1. Abul A’la al Maududi

Dilahirkan di Aurangabad 25 september 1903. Buku-buku karyanya amat banyak, sebenarnya ia telah menyumbangkan tidak kurang dari 60 buku yang menjelaskan tentag, sistem moral Islam, sistem sosial Islam, sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam, sistem kerohanian Islam dan lain sebagainya.

  1. a.      Iman, Islam, Kufur

Iman adalah persetujuan, bentuk janji antara manusia dengan Tuhan. Ia bukan saja pengakuan, belaka tentang kepercayaan kepada Allah, tapi juga pengakuan atas kenyataan bahwa hanya Allah sajalah Tuhan yang berdaulat dan yang memerintah. Al- Maududi mengatakan hubungan iman dan Islam seperti hubungan benih dan pohon, pohon tidak tumbuh kecuali dengan benih. Jadi, mustahil seseorang menjadi muslim tanpa uman dalam hatinya, meskipun ada kemungkinan iman ada didalam hatinya tapi Islamnya tidak sempurna.

Kufur adalah kafir, karena ia menutupi fitrahnya dan menyelubunginya dengan segala selubung dengan kebodohan dan kepicikan akal. Kufur itu suatu kedzaliman, bahkan kedzaliman yang amat besar dan paling dimurkai. Makna kedzaliman itu adalah meletakan sesuatu tidak pada tempatnya yang layak baginya, dan anda mempergunakan secara paksa ditempat yang tidak sesuai dengan fitrahnya.

-Sayyid Kutub

Beliau diperkirakan lahir tahun 1906 di Qaha, Mesir. Ia hafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun. Bukunya yang terkenal adalah Maalim Fii at-Thariq .

  1. a.      Aqidah dan Teologi

Sayyid Qutublah pencetus dan penggerak lahirnya konsep ideologi Islam. Keistimewaannya dalam konsep ideologi Islam itu ialah kaitannya dengan iman, sehingga ideologi bersifat mutlak. Islam adalah akidah revolusioner yang aktif, dengan kata lain, kalau ia menyentuh hati manusia dengan cara yang benar, maka didalam hati akan terjadi suatu revolusi, revolusi yang berdasarkan persamaan mutlak antara seluruh umat manusia.

  1. b.      Aqidah dan Jihad

Fungsi akidah sangat berpengaruh dalam kehidupan kita, sebuah rahasia kekuatan akidah yang berada di dalam jiwa, yang dibesarkan oleh akidah agama. Akidah agama sajalah yang mampu membuat seseorang tabah hidup tanpa kekayaan, tabah menghadapi gangguan, dan tabah berjuang. Akidah itulah yang mendorong seseorang manusia rela mati untuk memperoleh kehidupan yang baka, berkorban untuk meraih kemenangan atau mati syahid.

  1. c.       Aqidah dan Kebudayaan

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang melaksanakan Islam secara aqidah dan ibadah, secara syari’at dan sistem, secara budi pekerti dan tingkah laku.

Masyarakat jahili adalah masyarakat yang tidak melaksanakan Islam, tidak diperintah oleh aqidah dan konsepsi Islam, secara syari’at dan sistem, secara budi pekerti dan tingkah laku.

Ciri-ciri khas Islam: rabbaniyah, al-tsabat, syumul (menyeluruh), tawazun (keseimbangan), ijabiyah (kepastian), waqiliyah (realitas), tauhid (keesaan).

 

  1. Mahmud Syaltut

Prof. Dr. syeikh Mahmud Syaltut adalah seorang putra mesir dilahirkan 23 April 1893.

  1. a.      Dasar Aqidah

Dasar keimanan dalam Islam adalah, iman kepada Allah. Kenyataannya yang menyebabkan al-Qur’an dapat menarik perhatian akan iman kepada Allah. Kitab suci itupun memberikan pedoman kepada kita mengenai nama-nama indah dan sifat-sifat Allah, yang semua itu menggambarkan kekuasaan-Nya, dan keutamaan-Nya.

  1. b.      Dasar keagamaan

Kewajiban al-Qur’an yang dipikulkan kepada masyarakat, hanya dapat dipenuhi masyarakat yang mewakilkan kepada salah seorang diantara mereka, ialah seseorang yang berakal sehat, memiliki kesanggupan dan kecakapan, yang memungkinkannya mewakili keseluruhan pikiran dan kerjasama dalam menunaikan kewajiban yang diperlukan untuk kesejahteraan umum. Orang yang terpilih disebut Khalifah atau Imam.

Khalifah atau imam sebagai pemimpin dalam islam berkewajiban menguatkan dan mempersatukan pendapat umum, melakukan putusan hakim, mengatur alat-alat pemerintahan, meneguhkan keimanan dalam mengamalkan keyakinannya, seperti shalat, mengeluarkan zakat dan mengawasi kepentingan umum, dan bimbingan suatau demokrasi parlementer, sebagai dasar pemerintahan dalam Islam.

Manfaat Bagi Pembaca

Manfaatnya kita membaca buku ini adalah agar kita mengetahui pemikiran-pemikiran kalam Islam, tidak hanya pemikiran kalam klasik akan tetapi pemikiran kalam modern, yang berkembang sepajang sejarah Islam, beserta dengan para tokoh-tokohnya. Dan dengan membaca buku ini menambah wawasan kita terhadap kajian-kajian Islam, terutama kajian tentag kalam.

Komentar Kritis

Pada dasarnya buku ini sangat bagus untuk dibaca, terutama untuk menambah wawasan dan memperdalam pemahaman dalam kajian tentang ilmu kalam, atau pemikiran kalam dalam Islam. Akan tetapi, bahasa yang digunakan oleh penulis terlalu susah untuk dipahami dan kadang-kadang ambigu (membingungkan), apalagi jika yang membacanya tidak familiar dengan istilah-istilah bahasa arab, akan sangat susah dimengerti apa maksud dari bacaan tersebut.

Kesimpulan

Al-Qur’an dan Sunnah memberi dasar kepada penggunaan akal melalui ijtihad dan dari sini berkembang pemikiran Islam. Kebebasan berfikir yang pertama dalam Islam ditemui dalam ilmu kalam. Beda pendapat pertama dikalangan kaum muslimin tampak ketika memecahkan masalah-masalah keimanan dan politik.

Dalam buku ini membahas tentang, Neo platonisme, Gnosticisme, pengaruh Agama-agama, lahirnya ilmu kalam, politik dan masalah keagamaan, lahirnya Teologi Islam, aliran-aliran kalamiyah, aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Jabariah dan Qadariyah, aliran Syi’ah, aliran Mu’tazilah, aliran Ahlus-Sunnah wal jama’ah, aliran Salaf. Dan tokoh kalam modern diantaranya adalah Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Abul A’la Maududi, Sayyid Qutub, Muhammad Syaltut.

Dalam pembahasan-pembahasan tersebut ternyata ada diantaranya yang membawakan pemikiran-pemikiran ekstrim, bukan hanya dimonopoli oleh ahli kalam klasik, akan tetapi di kalangan ahli kalam modern, walaupun jumlahnya sedikit sekali.

4 responses

  1. maaf kenapa identitas bukunya tidak ada?

    1. Maaf waktu itu saya lupa. Judul bukunya Ilmu kalam karangan Prof. Dr. Abdul rozak, M.Ag.
      Dan Prof. Dr. Rosihon anwar, M.ag

    2. Terbitan pustaka setia thn 2001

  2. Bagaimana kalian melihat ilmu kalam dalam kehidupan modern terutama yang terjadi di kalangan anak muda islam ?

Leave a comment