Jurnalistik

DUNIA JURNALISTIK
A. Pengertian Jurnalistik
Secara etimologi jurnalistik terdiri dari dua suku kata, jurnal dan istik. Kata jurnal berasal dari bahasa Prancis, journal yang berarti catatan harian. Hampir sama bunyi ucapannya dengan kata dalam bahasa Latin, diurna yang mengandung hari ini. Adapun kata istik merujuk kepada istilah estetika yang berarti ilmu pengetahuan tentang keindahan. Keindahan yang dimaksud adalah mewujudkan berbagai produk seni. Dengan demikian secara etimologis jurnalistik dapat diartikan sebagai suatu karya seni dalam membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari, karya yang memiliki nilai keindahan yang dapat menarik perhatian khalayaknya sehingga dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.

Definisi-definisi jurnalistik menurut para pakar di bidangnya:
a.Adinegoro, didalam bukunya Publisitik dan Djurnalistik (1963:38) membedakan jurnalistik dan publisistik dengan penegasan bahwa jurnalistik adalah kepandaian yang praktis, sedangkan publisistik adalah kepandaian yang ilmiah. Sebagai kepandaian yang praktis, jurnalistik adalah salah satu objek di samping objek-objek lainnya dari ilmu publisistik, yang mempelajari seluk beluk penyiaran berita-berita dalam keseluruhannya dengan meninjau segala saluran, bukan saja pers tapi juga radio, televisi, film, teater, rapat-rapat umum, dan segala lapangan.

b.Astrid S. Susanto melalui bukunya, Komunikasi Massa (1986:73) mendefinisikan jurnalistik sebagai kejadian pencatatan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari.

c.Onong Uchjana Effendy (1981:102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan lapora harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat.

d.A.W. Widjaja (1986:27) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Di dalam Ensiklopedi Indonesia secara rinci menerangkan jurnalistik sebagai bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. Pada tahun 1950 jurnalistik dikelompokkan (shadily, 1982: 1609) sebagai:

1. Sarana (media):
a.Media cetak: jurnalistik harian, majalah, dan kantor berita
b.Media elektronik: jurnalistik radio, televisi dan film.

2. Bidang kerja: Dalam negri, luar negri, parlemen, ekonomi, keuangan, olah raga, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Guru besar bidang jurnalistik di Universitas New York, F. Fraser Bond (1961:1), menyataka bahwa kini istilah jurnalistik mengandung makna semua usaha dimana dan melalui mana berita-berita serta komentar-komentar tentang suatu kejadian sampai kepada publik. Menurutnya, semua peristiwa di dunia yang kejadiannya menarik perhatian public, serta merupakan pendapat, aksi, maupun buah pikiran, akan merangsang seorang wartawan untuk meliputnya guna dijadikan bahan berita. Dikutip pula pendapat Leslie Stephens yang menyatakan bahwa jurnalistik merupakan penulisan tentang hal-hal yang penting dan tidak kita ketahui.

Sebagai rangkuman dari semua pendapat atau definisi dapat disimpulkan bahwa jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, menyusun dan menyajikan berita tentang peristiwa sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan prilaku khalayak sesuai dengan kehendak jurnalisnya.

B.Sejarah Perkembangan Jurnalistik
Dalam sejarah menuturkan bahwa jurnalisme adalah alat pemasok kebutuhan orang untuk berkomunikasi. Komunikasi sangat penting bagi manusia karena merupakan jalan bagi manusia bertukar informasi. Perkembangan jurnalistik dimulai dari perkembangan publisistik sebagai pengetahuan kemasyarakatan dalam bidang pernyataan antar manusia.

Para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari serta menyebarkan kabar, mereka menunjukan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia itu adalah kapal Nuh. Data selanjutnya diperoleh para ahli sejarah kerajaan Romawi (Imam Agung) mencatat segala kejadian penting yang diketahuinya pada annals (papan tulis yang digantungkan di serambi rumahnya). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya. Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis pada masa itu. (60 SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain. Menurut keterangan Flavius Josephus hikayat Nabi Nuh maupun munculnya acta diurna belum merupakan suatu penyiaran atau penerbitan sebagai harian, akan tetapi jelas terlihat merupakan gejala awal perkembangan jurnalistik.

Untuk sampai menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat akademis, jurnalistik berkembang dengan munculnya mata kuliah tentang persuratkabaran yang disebut Zeitungskunde di universitas Bazel (1884). Kemudian dikembangkan oleh Karl Bucher, pakar Ekonomi yang juga seorang wartawan, dan juga diikuti oleh Max Weber dengan merintis jalan ke arah penelitian sosiologi persuratkabaran (1910).
Di sekitar 1925 ilmu persuratkabaran yang dikenal dengan Zeitungskunde berubah menjadi Zeitungswessenschaft. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang telah memperkaya media komunikasinya dengan radio, film, dan televisi, surat kabar bukanlah satu-satunya media yang dapat dipakai sebagai alat berkomunikasi. Dengan demikian ilmu persuratkabaran pun diperluas menjadi ilmu publisistik. Sejak dikenalnya ilmu publisistik tersebut, jurnalistik dan pers pun berkembang sejalan dengan perkembagannya, dipelajari di berbagai perguruan tinggi. Demikian pula dalam praktiknya kini telah banyak penerbitan suratkabar terkenal baik bertaraf nasional maupun internasional.

C.Falsafah Jurnalistik
Falsafah adalah tata nilai atau prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Falsafah jurnallistik disusun berdasarkan sistem politik yang dianut oleh masyarakat dimana jurnalistik yang bersangkutan hidup. Falsafah jurnalistik yang dianut bangsa Amerika yang liberalistik berlainan dengan falsafah yang dianut oleh Cina yang bersifat komunistis sebelum negara tersebut dilebur menjadi Rusia. Falsafah yang dianut Indonesia yang sisten politiknya demokratis berlainan dengan falsafah yang dianut oleh Myanmar yang militeristis.
Tahun 1980 muncul teori tentang tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa yang dipelopori oleh Rivers, Schram dan Christians yang berprinsipnya sama mewakili pandangan barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. Cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang negara, kebenaran, dan perilaku moral. Siebert berpendapat tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Asumsi dasar mereka adalah “pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik dimana ia beroperasi” dan berdasarkan sistem-sistem sosial dan politik yang berlaku didunia pada waktu itu, maka dikembangkanlah empat teori tentang pers.
Ketika kebebasan politik, agama dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Maka lahirlah teori baru, yaitu Libertarian Theory atau teori pers bebas, yang mencapai puncakya pada abad ke 19. Dalam teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Pers harus pula menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan sebagai alat pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memliliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.

D.Menjadi Wartawan

1.Syarat menjadi seorang wartawan:
a.Bisa dan hobi menulis, sepintar apapun otaknya, seluas apapun wawasannya, ia akan sulit menjadi wartawan jika tidak bisa dan tidak hobi menulis.
b.Terampil bicara, kemampuan atau keterampilan berbicara juga menjadi syarat penting bagi wartawan, khususnya wartawan radio dan televisi.
c.Peduli dan cinta bahasa, kata orang bijak bahasa adalah mata uang tunggal dalam jurnalisme, artinya dalam profesi dan praktik jurnalistik, bahasa memainkan peran yang sangat vital dan menentukan.
d.Senang bergaul dengan banyak orang, wartawan harus menjadi makhluk sosial yang utuh dan sesungguhnya.
e.Senang berpetualang, karena tanpa adanya jiwa petualang, wartawan tidak akan bisa bekerja maksimal.
f.Menyukai tantangan
g.Siap bekerja dibawah tekanan
h.Panjang telinga, wartawan harus mampu mendengar berita-berita yang terjadi dimanapun, baik yang dekat maupun yang sangat jauh.
i.Hidung tajam, wartawan harus memiliki penciuman yang tajam tentang suatu hal yang bernilai berita.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

Atas dasar itu,wartawan menetapkan kode etik dan harus mentaatinya.
-Wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
-Wartawan menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
-Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
-Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
-Wartawan tidak menyalah gunakan profesi dan tidak menerima suap.
-Wartawan tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
-Wartawan menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan public.
-Wartawan segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Daftar Pustaka
Kustandi Suhandang, pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik, Bandung: Nuasa,2004, h.11-38.
Zaenudin HM, The Journalist, Jakarta: Pustaka Prestasi, 2007, h.18-31.

Leave a comment