Kode Etik Jurnalistik (KEJ)

Kode Etik Jurnalistik

Wartawan yang tidak mematuhi kode etik sudah bersikap tidak professional. Kode etik merupakan bagian integral dari profisionalisme wartawan.

1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang professional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya.
3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan bahasa jurnalistik.
4. Wartawan memiliki da menaati Kode Etik Jurnalistik. Dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh dewan pers.

Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Wartawan Indonesia

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) petama kali dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ antara lain menetapkan:

1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur. Wartawan selalu menyatakan identitasnya apabila sedang melakukan tugas peliputan.
2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keteragan sebelum menyiarkan.
3. Sebisanya membedakan antara kejadian dan pendapat.
4. Menghargai dan melindungi sumber berita yang tidak mau disebut namanya.
5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record.
6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan untuk kesetiakawanan profesi.
7. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan jabatan dan kecakapannya untuk kepentingan sendiri atau kepentingan golongan.

Informasi yang Benar

Menulis informasi yang benar sama dengan tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta. Kode etik demikian sejalan dengan nilai berita, nilai jurnalistik, atau salah satu unsur berita yang berlaku di dunia jurnalistik, yakni faktual (nyata, benar-benar terjadi atau bukan karanga alias tidak fiktif).

Sebuah berita harus merupakan informasi tentang sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya atau laporan mengenai fakta sebagaimana adanya. Di sunia jurnalistik dikenal doktrin kejujura. Doktrin itu mengajarkan perlakuan adil terhadap semua pihak yang menjadi objek berita.

Dokrin itu juga mengajarkan, mendapatkan berita yang benar lebih penting dari pada menjadi wartawan pertama yang menyiarkan/menuliskannya. Pembaca menaruh harapan besar akan mendapatkan informasi yang tidak saja aktual, faktual, tetapi juga mengandung kebenaran. Untuk itu wartawan tidak hanya sekedar mengutip perkataan narasumber.

Etika Mendapatkan Informasi

Dalam melaksanakan kemerdekaan pers (hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi) wartawan harus memperoleh berita dengan cara yang etis, yakni jujur, terus terang, atau memberikan identitas kepada sumber informasi, termasuk ketika mengutip berita dari wartawan lain tidak melakukan plagiat.

Jadi, wartawan harus menunjukan identitas diri sebagai wartawan kepada narasumber, yang diwawancarai, atau sumber informasi. Dengan demikian wartawan tidak boleh menyamar layaknya seorang agen atau orang biasa agar memudahkan mewawancara narasumber atau mendapatkan informasi. Wartawan juga harus menghargai off the record.

Menghormati Asas Praduga Tak Bersalah

Pengadilan oleh pemberitaan pers adalah kasus yang paling sering muncul kepermukaan akibat tidak dihormatinya asas praduga tak bersalah “pengadilan pers” adalah pemberitaan yang sifatnya telah menghukum atau memvonis bersalah orang yang belum tentu bersalah.

Oleh karena itu, dalam pemberitaan masalah hukum, misalnya kasus korupsi, pencurian, perampokan atau tindak pidana dan perdata lainnya, wartawan harus ekstra hati-hati. Upayakan sekuat tenaga untuk tidak melakukan interpretasi dalam pemberitaan yang menjurus pada “pengadila pers”.

Tidak Mencampurkan Fakta dan Opini

Fakta dan opini merupakan dua hal yang berbeda. Fakta adalah data tentang peristiwa atau apa yang terjadi. Sedangkan opini adalah pendapat tentang peristiwa itu yang sering mengarah pada pemikiran apa yang seharusnya terjadi. Jika terjadi pencampura atara keduanya (fakta dan opini) maka informasi yang benar dapat menjadi bias atau bahkan menimbulkan terjadinya pemutarbalikan fakta.

Adanya ketentuan tidak mencampurkan fakta dengan opini karena masing-masing ada bagiannya. Fakta ditulis dalam bentuk berita sedangkan opini dituangkan dalam bentuk artikel atau feature.

Ketentuan tersebut memang sangat sulit ditaati karena dalam dunia jurnalistik dikenal adanya berita interpretasi, yakni berita yang merupakan gabungan antara fakta dan penafsiran atau opini wartawan tentang fakta yang dikemukakan.
Dalam mengemukakan fakta, wartawan menambahnya dengan komentar atau uraian sebagai penjelas. Namun demikian, wartawan yang professional tentu mampu membedakan mana fakta dan mana opini, serta tidak mencampurkannya.

Tidak Menyiarkan Informasi Fitnah, Sadis, dan Cabul

Wartawan bisa dikatakan sebagai salah satu komponen pendidik masyarakat. Karena itu, informasi yang disampaikan kepada masyarakat tidak mengandung unsure fitnah serta tidak mengandung unsure sadism dan pornoisme atau cabul.

Fitnah adalah berita bohong atau tuduhan yang tidak berdasarkan bukti sebagai penunjang kebenaran. Sadism adalah tindak kekerasan yang tidak saja dapat memunculkan kengerian, memuakan, dan amarah. Cabul atau pornoisme adalah sesuatu yang dapat menimbulkan syahwat atau birahi sehingga potensi mendorong seseorang berbuat kejahatan seksual.

Tidak Menerima Suap dan Tidak Menyalahgunakan Profesi

Menerima suap dan menyalahgunakan profesi demi uang ditabukan dalam dunia wartawan. Kode etik demikian patut mendapat perhatian lebih karena ada mitos bahwa wartawan adalah profesi “basah” (mudah mendapatkan uang) da adanya istilah popular ‘wartawan amplop”.

Leave a comment